Pendapat Milton Friedman menyatakan bahwa tujuan perusahaan adalah memperoleh profit semata (Suharto,2007). Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa peusahaan didirikan untuk mencari laba yang semaksimal mungkin yang dapat dihasil melalui kegiatannya. Maksimalisasi laba atau keuntungan sering disebut sebagai tujuan perusahaan. Maksimalisasi laba menekankan pada pemanfaatan barang modal secara efisien, namun hal ini sama sekali tidak mengaitkan secara khusus besarnya keuntungan yang dihasilkan terhadap nilai waktu perolehannya (Keown et al, 2008). Misal, untuk mendapatkan keuntungan perusahaan bisa saja mengambil kebijakan untuk mengurangi berbagai macam biaya. Untuk jangka pendek, tentu saja hal ini sangat baik, namun untuk jangka panjang hal tersebut belum tentu menguntungkan bagi perusahaan.

Suatu keputusan keuangan harus diambil berdasarkan dari tujuan perusahaan, maka tujuan perusahaan harus jelas dan tepat sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman serta sesuai dengan kondisi nyata dengan permasalahannya. Agar perusahaan dapat eksis dalam jangka panjang, maka usaha untuk memaksimalkan laba adalah pilihan wajib. Perusahaan tidak akan dapat bertahan apalagi ekspansi jika mengabaikan laba. Namun permasalahannya adalah apakah mencapai laba yang maksimal menjadi tujuan perusahaan semata yang juga merupakan tujuan dari pemegang saham. Banyak stakeholder lainnya selain dari pemegang saham yang berkepentingan terhadap perusahaan yang perlu diperhatikan. Misal karyawan yang menuntut kesejahteraan, pelestarian lingkungan hidup, kepuasan pelanggan, dan sebagainya.

Perkembangan saat ini, ternyata tanggung jawab perusahaan tidak hanya terletak pada pencarian laba yang sebesar-besarnya. Perusahaan juga harus bertanggung jawab secara moral kepada stakeholder lainnya selain pemegang saham. Tanggung jawab moral tersebut lebih dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep triple bottom line yang digagas oleh John Elkington semakin masuk ke dalam mainstream para pemimpin perusahaan (Suharto,2007).

Persoalan yang muncul adalah perusahaan yang menyisihkan sebagian dana untuk sumbangan bencana alam, beasiswa, dan bantuan-bantuan sosial lainya pun dianggap sudah bertanggung jawab kepada masyarakat. CSR adalah bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibatnya terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.

Setidaknya ada tiga alasan penting mengapa kalangan dunia usaha mesti merespon dan mengembangkan isu tanggung jawab sosial sejalan dengan operasi usahanya. Pertama, perusahaan adalah bagian dari masyarakat dan oleh karenanya wajar bila perusahaan memperhatikan kepentingan masyarakat. Kedua, kalangan bisnis dan masyarakat sebaiknya memiliki hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial merupakan salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghindari konflik sosial.

Dalam konteks global, istilah CSR telah dikenal sejak tahun 1970-an. Namun konsep CSR sudah dikemukakan oleh Howard R. Bowen pada tahun 1953 dalam karyanya Social Responsibilities of the businessman (Kartini, 2009). CSR merupakan tanngung jawab sosial yang dilakukan oleh para pelaku bisnis saat itu sebagai kelanjutan dari pelaksanaan berbagai kegiatan derma (charity) sebagai wujud kecintaaan terhadap sesama manusia (philanthropy). Semakin popular setelah kehadiran buku Cannibals with forks: the triple bottom line in 21st century business (1998) karya John Elkington (Suharto, 2008). Elkington mengemas pada 3P: profit, people, dan planet. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu kepentingan ekonomi semata (profit), tetapi juga memperkatikan kesejahteraan karyawan (people) dan turut menjaga kelestarian lingkungan (planet).

Ide mengenai CSR sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial peusahaan kini semakin diterima luas oleh masyarakat walaupun bentuknya berbeda-beda pada tiap-tiap perusahaan. Pada intinya CSR sangat beragam, tergantung dengan kebijakan yang akan dipilih oleh perusahaan. Pelaksanaan CSR dapat dilaksanakan langsung oleh perusahaan di bawah divisi human resources development atau divisi public relation. CSR bisa pula dilakukan oleh yayasan yang dibentuk terpisah dari induk organisasi perusahaan namun harus bertanggung jawab kepada pemimpin perusahaan atau dewan direksi. Menurut Suharto: 2008, Beberapa nama lain yang memiliki kemiripan atau bahkan diidentikan dengan CSR, misal: pemberian amal perusahaan (corporate giving/ charity), kedermawanan perusahaan (corporate philanthropy), relasi kemasyarakatan perusahaan (corporate community/ public relation), dan pengembangan masyarakat (community development). Adapun bentuknya dapat pemberian bantuan bencana alam, bantuan pengobatan masyarakat tidak mampu, bantuan beasiswa, pembangunan sarana umum, dan sebagainya.

Penerapan CSR di perusahaan akan menciptakan iklim saling percaya di dalamnya, yang akan menaikkan motivasi dan komitmen karyawan. Pihak konsumen, investor, pemasok, dan stakeholders yang lain juga telah terbukti lebih mendukung perusahaan yang dinilai bertanggung jawab sosial, sehingga meningkatkan peluang pasar dan keunggulan kompetitifnya. Dengan segala kelebihan itu, perusahaan yang menerapkan CSR akan menunjukkan kinerja yang lebih baik serta keuntungan dan pertumbuhan yang meningkat.

Menurut Milton Friedman (Kartini, 2009), menyimpulkan konsep CSR harus diartikan sebagai salah satu strategi perusahaan untuk melakukan maksimalisasi laba. Adapun bila manajer mengembangkan konsep CSR diluar tujuan untuk maksimalisasi laba, maka konsep CSR tersebut hanya ditafsirkan sebagai dua opsi. Pertama, manajer memasuki ranah politik dengan melakukan berbagai aktivitas philanthropic yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah sebagai pihak yang harus melakukan pelayanan publik karena pemerintah telah mendapatkan pajak dari masyarakat. Kedua, manajer bertindak sebagai principal (pemegang peran utama dalam perusahaan) dan bukan sebagai agen, dimana tindakan manajer untuk melakukan program CSR tersebut “dibiayai” oleh pemegang saham yang harus menanggung biaya CSR tersebut. Di dalam pasar yang kompetitif, tindakan perusahaan ini berpotensi mengakibatkan competitive disadvantage (tidak unggul dalam bersaing) sehingga bias menjadi target akuisisi atau pun pengambilalihan (takeover) oleh perusahaan lain yang lebih unggul.

Memang saat ini belum tersedia formula yang dapat memperlihatkan hubungan praktik CSR terhadap keuntungan perusahaan sehingga banyak kalangan dunia usaha yang bersikap skeptis dan menganggap CSR tidak memberi dampak atas prestasi usaha, karena mereka memandang bahwa CSR hanya merupakan komponen biaya yang mengurangi keuntungan. Praktek CSR akan berdampak positif jika dipandang sebagai investasi jangka panjang, karena dengan melakukan praktek CSR yang berkelanjutan, perusahaan akan mendapatkan tempat “di hati” dari masyarakat, bahkan mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan berkelanjutan. Merujuk pada Saidi dan Abidin (2004), sedikitnya ada empat model atau pola CSR yang umumnya diterapkan oleh perusahaan di Indonesia, antara lain: keterlibatan langsung, melalui yayasan atau organisasi sosial perusahaan, bermitra dengan pihak lain, dan mendukung atau bergabung dengan konsorsium.

Beberapa negara telah menetapkan keharusan mengenai perlunya pelaporan CSR, meskipun kesepakatan alat ukur terhadap kinerja sosial dan lingkungan belum tercapai secara bulat. Banyak perusahaan yang saat ini telah menghasilkan laporan-laporan tahunan berdasarkan audit eksternal yang pada umumnya mencakup isu-isu pembangunan berkelanjutan dan CSR. Pelaporan CSR masih memiliki format yang beragam, baik isi, gaya bahasa, maupun metodeloginya, bahkan untuk perusahaan sejenis sekalipun. Teknis pelaporannya pun juga beragam. Ada yang menggunakan siklus satu tahunan, bahkan dua atau tiga tahun sekali. Hal ini karena, pelaporan CSR masih bersifat sukarela, bukan mandatory (kewajiban). Namun dengan diluncurkannya ISO 26000 on Social Responsibility, menuntun perusahaan agar memahami pentingnya program CSR, apabila menginginkan keberlanjutan dari perusahaan tersebut.

Alur pelaporan CSR berawal dari suatu perusahaan yang sadar akan dampak dari operasional yang mereka lakukan kemudian berinisiatif melakukan sesuatu, dalam ha ini berupa perencanaan program CSR plus anggaran yang berguna mengoptimalkan nilai lebih serta meminimalisir dampak buruk, yang seterusnya hasil inisiatif plus aktivitas tersebut harus dibuat pelaporan yang akan disampaikan kepada pemangku kepentingan (Kartini, 2009). Sehingga CSR adalah sebuah program yang direncanakan dengan anggaran yang disiapkan pula dan proses pelaporannya juga harus direncanakan, bukan dengan sesuka hati. Untuk itu diperlukan kesadaran penuh bagi perusahaan agar memberikan laporan CSR secara berkesinambungan (sustainability reporting). Media penyampaian laporan tersebut dapat berupa pemberitahuan melalui portal (website) perusahaan, disatukan dengan laporan keuangan tahunan, atau dapat juga dipublikasikan melaui seminar-seminar atau forum diskusi.

Industri rokok merupakan industri yang cukup unik. Di antara terpaan dan kecaman dari beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menolak keberadaan industri tersebut hingga permasalahan tentang ayat tembakau dalam UU Kesehatan yang telah disahkan oleh DPR, tidak menyurutkan industri ini. Keadaan tersebut justru membuat industri tersebut semakin berkembang dan maju. Semakin banyak industri-industri rokok baru yang bermunculan untuk mencoba peruntungan.

Pengembangan bisnis industri rokok bergerak tidak dalam bentuk satu strategis yang tunggal. Strategi bisnisnya akan mengikuti situasi di tiap wilayah pengembangannya. Strategi tersebut menyusun dan menentukan kelompok targetnya, mempermudah kebijakan politik yang mendukung bisnisnya baik yang datang dari pemerintah ataupun anggota perwakilan rakyat, bekerja sama dengan siapapun untuk melakukan upaya promosi dan membentuk pasar secara maksimal.

Industri rokok membangun citranya melalui berbagai cara. Dari iklan yang menciptakan komunikasi langsung dengan konsumen dengan memasang produk rokoknya melalui papan iklan, iklan media cetak dan eletronik, poster, aksesoris, gerai warna dan logo yang menimbulkan citra produk rokok tersebut. Melakukan aktivitas promosi dengan membagikan sample rokok secara gratis, menawarkan kupon, kontes, lotere, tiket menonton pertandingan olah raga dan balapan, konser musik, mendanai pembuatan film, talkshow, pesta jalanan hingga aktifitasnya dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) yang mendukung pemberian beasiswa, proyek bantuan lingkungan dan kegiatan lainnya di bawah nama perusahaan atau nama produk industri rokok tersebut. Termasuk memberikan beasiswa kepada wartawan dan anak-anak sekolah yang berprestasi. Kampanye untuk menghapuskan iklan dan sponsor rokok kian menguat dikalangan masyarakat. Misalnya, pernah mendemo konser penyanyi Rossa karena disponsori perusahaan rokok. Pada awal tahun 2010 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang me-labeli rokok sebagai barang haram bagi wanita hamil, anak-anak, ulama MUI, dan perokok di tempat-tempat umum. Salah satu tujuannya agar menghapuskan citra merokok sebagai bagian dari budaya atau sesuatu yang “wajar” untuk dilakukan.

Dari segi pengelolaan, CSR yang dilakukan perusahaan rokok secara umum memenuhi kriteria pelaksanaan CSR yang tepat. Yaitu berkesinambungan, program jangka panjang, dan berdampak positif kepada masyarakat, baik secara ekonomi, lingkungan, maupun sosial. Program yang dirancang harus memiliki dampak yang berkelanjutan, berbeda dengan donasi bencana alam yang bersifat ad hoc. Contoh seperti PT Djarum, yang aktif melakukan kegiatan CSR sejak awal berdirinya pada 1950-an. Kegiatan CSR yang dilakukan oleh Djarum fokus pada tiga hal yaitu bakti olahraga, bakti pendidikan, dan bakti lingkungan. Salah satu yang menonjol adalah sumbangan Djarum untuk menyokong dunia bulu tangkis Indonesia sejak 1969 melalui Persatuan Bulutangkis (PB) Djarum dan melahirkan beberapa bintang besar seperti Liem Swie King, Alan Budi Kusumah, dan Hastomo Arbi. Program pemberdayaan UMKM yang merupakan bagian dari payung program HM Sampoerna untuk Indonesia yang mencakup berbagai bidang mulai dari pendidikan, kesehatan, pemberdayaan masyarakat, pelestarian seni budaya, sampai penghargaan karya jurnalistik.

Banyaknya isu-isu miring tentang industri rokok di Indonesia, tidak membuat industri tersebut bergeming. Mulai dari pelarangan iklan pada jam tertentu, promosi gratis, hingga memasukan rokok sebagai zat adiktif dalam UU kesehatan. Misal, pada tahun 2005, ditandai dengan penjualan sebagian saham dari HM Sampoerna oleh Phillip Morris (Marlboro). Ataupun pembelian seluruh saham PT. Bentoel Indonesia oleh BAT (British American Tobacco) pada tahun 2009. Hal ini seolah bertolak belakang dengan isu-isu yang beredar. Logikanya, mungkin seseorang menginvestasikan sebagiannya dananya dalam sebuah perusahaan bila perusahaan tersebut merugi??

(dari berbagai sumber)